SEBERKAS CAHAYA





Sunyi senyap, gelap gulita. Ia bagaikan berjalan di dalam gua tanpa adanya seberkas cahaya.

            Rein, itulah namanya. Gadis berusia 16 tahun itu tengah merasakan kebingungan dalam kehidupannya. Sering termenung di antara kepulan kabut. Hatinya gundah gulana memikirkan jati diri yang sebenarnya. Tak tau apa yang harus dilakukannya.
            Gadis berambut hitam berkilau itu merasa kehidupan yang Ia jalani terasa membosankan. Tidak ada perubahan yang lebih baik darinya. Bagaikan air yang menggenang, tenang.
            Sejak sepeninggal ayahnya, semangat Rein jatuh sia-sia. Ayahnya meninggal karena terserang penyakit struk. Kini Ia hanya tinggal bersama ibu dan adiknya. Ia tak menduga umur seorang  ayah yang dicintainya itu sangat pendek. Tak ada lagi kehangatan bersama ayahnya. Kesedihan yang mendalam Ia rasakan.
            Sementara itu, Rein juga memiliki sahabat yang selalu setia mendampinginya dalam suka maupun duka. Dia adalah Aisyah. Seorang gadis berparas menawan, yang tak lelah menasihati Rein.
            Aisyah menghampiri Rein dengan roknya yang membelai rumput. Mereka duduk di sebuah bangku kayu berwarna coklat di antara semak-semak yang bergoyang karena terkena hembusan angin. “Rein”, ucap Aisyah dengan suara yang lembut. “Rein, tatap mataku. Kamu kenapa?” Aisyah menorehkan dagu Rein dengan tangannya yang tulus. Rein hanya memberikan senyuman kecil namun tampak berat. Sorot matanya tak berbinar seperti dahulu. “Tidak apa-apa.” ucap Rein singkat. “Rein, kita sudah bersahabat sejak lama. Dan sekarang aku tahu, kalau kamu sedang punya masalah. Rein, apakah kamu masih memikirkan ayahmu?” Aisyah menunggu jawaban Rein dengan menggenggam tangannya. Rein hanya menghela nafas dan tak bisa menjawab apa-apa. “Hidup itu adalah ujian. Setiap orang pasti juga memiliki masalah. Hanya bagaimana kita melewati masalah itu, apakah kita akan lari dari masalah atau menghadapi masalah lalu mendapatkan pelajarannya. Kita akan gagal atau lulus ujian, itu semua kita yang menentukan.” Celetuk Aisyah menasihati Rein. Rein pun memeluk sahabat setianya itu dengan erat. “Wahh, Bu Ustadzah ceramah nih. Hahaha.” Kata Rein sedikit bercanda. Aisyah yang tadinya cemas, kini Ia pun ikut tertawa.

“Begitulah sahabat, saling melengkapi satu sama lain. Memberikan gembira di atas duka. Sahabat tak lekang oleh waktu, tak pudar walau banyak masalah menghadang.”

Rein menjalani hari-hari biasa. Menuntut ilmu di sekolah dengan segudang aktifitasnya. Yang berbeda adalah Ia berangkat sekolah dengan menggunakan angkutan umum, karena motornya telah dijual untuk memenuhi kebutuhan pendidikan adiknya yang baru masuk SD. Sedangkan Ibu Rein kini menjadi kuli mencuci baju demi sesuap nasi. Sejak ayahnya meninggal, wirausaha yang dimiliki keluarga Rein gulung tikar. Keadaan ekonomi keluarga Rein kini sangat memprihatinkan.

Saat tiba di sekolah..

“Brukk”.
Tanpa sengaja Rein menabrak seorang gadis berperawakan tinggi dengan rambut ikalnya yang diikat di atas kepala. Dia adalah Vio, gadis populer di sekolah. Dulu Ia juga pernah menjadi teman sekelasnya. “Ehh, maaf.. maaf.. tidak sengaja.” Kata Rein sambil mengambil buku-buku yang berjatuhan. “Hhm.. akan aku maafkan, tapi dengan syarat kamu harus mengerjakan tugas-tugasku yang kamu jatuhkan itu.” Vio menyuruh Rein dengan semena-mena. “Hahaha.” Terdengar suara tertawa dari geng Vio. Rein pun tidak habis pikir dengan perlakuan Vio kepadanya. Ia bukan Vio yang dulu. Kini Vio sudah terbuai oleh popularitasnya di sekolah, tanpa sadar Ia telah berubah.

Sore harinya.

Sekian hari telah Rein lalui. Kala itu Rein dan Aisyah duduk di atas hamparan rumput yang dikelilingi oleh bunga-bunga. Mereka menatap langit yang begitu indah berisikan gumpalan-gumpalan awan yang beraneka bentuknya. Namun gelisah di hatinya masih saja muncul menghantuinya. “Aku rindu Ayahku.” Rein mengusap air matanya. “Sudah Rein. Aku tahu perasaanmu. Ayahmu sudah tenang di sana dan beliau pasti berharap agar kamu menjadi Rein yang kuat.” Ujar Aisyah menenangkan Rein. “Sekarang kamu harus berubah Rein. Kembalilah seperti dahulu, yang pipimu selalu dihiasi oleh goresan senyum di bibir. Pikirkan Ibumu juga, beliau pasti sedih melihat anaknya terus-terusan berwajah suram.” Aisyah mengusap bahu Rein sembari menanamkan secercah harapan untuk Rein agar tidak murung lagi.
            Sampai di rumah Ia mendapati Ibunya sedang terlelap. Mata Rein menelaah tubuh Ibunya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Terlihat wajah Ibu yang mulai keriput dengan tubuh yang menyusut pula. Rein termenung sejenak. Ia tak bisa membayangkan bagaimana lelahnya seorang Ibu yang mengurusi dua anak. Rein memutar otak. Dan semangat itu kini muncul lagi menghampiri Rein. Rein akan berusaha untuk membahagiakan Ibunya. Dan tiba-tiba saja Ibunya terbangun, “Ehh, Rein, sudah pulang nak?” suara Ibu memecah kesunyian. Rein hanya tersenyum. “Bu, hal apa yang bisa membuat Ibu bahagia?” Tanya Rein. “cukup dengan kamu bahagia, maka Ibu pun akan bahagia, Nak.” Jawab Ibu dengan suara lirih. Lagi-lagi Rein meneteskan air mata.
Keesokan harinya.

Hari-hari Rein kini dihiasi dengan semangatnya yang membara bagai api. Ia kembali memiliki harapan dan mimpi. Melewati setiap peristiwa tanpa senyuman yang tertinggal. Tujuan hidupnya kini sudah jelas, Ia ingin membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
Demi mengurangi beban Ibunya, Rein mulai membuka usaha dengan berjualan kue keliling kampung. Meskipun dengan keadaan ekonomi yang rendah, Rein berhasil dalam menempuh pendidikannya. Prestasi Rein tidak pernah turun. Bahkan selalu meningkat. Hingga akhirnya Ia mendapatkan predikat siswa terbaik di sekolahnya.
Kembali Ia mengungkap kebahagiannya pada sahabatnya, Aisyah. Tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal di hati Rein. Ia terngiang oleh pesan Ayahnya untuk berhijab guna mengurangi dosa Ayahnya di akhirat nanti. Hatinya terketuk. Rupanya hidayah itu telah datang kepada Rein. “Aku memutuskan untuk berhijab. Apa kamu mau menemaniku membeli khimar? “ ucap Rein pada Aisyah. “Alhamdulillah. Rein, hal ini yang aku tunggu-tunggu sejak dulu. Aku sangat senang Rein. Tentu saja aku mau menemanimu membeli khimar. Tapi sebenarnya aku pun telah membawakanmu khimar ini . Entah mengapa hatiku terdorong untuk membawanya.” Aisyah menyodorkan, lalu memakaikan khimar ke kepala Rein. “Terimakasih, Aisyah.” Ucap Rein dengan goresan senyum lima jari di bibirnya.

Tiba-tiba..
           
            “Kriiinggg”
            Handphone Rein berdering. “Reee.. Reeiinn..” suara Ibu terbata-bata. “Iya Bu, ada apa?” Rein kebingungan. “Cepat kesini. Ibu ada di Rumah Sakit Puspa Indah.” Ibu berbicara dengan isak tangisnya. “Adikmu, Fani, kecelakaan.” Kata Ibu. Seketika Rein dan Aisyah pun panik. Mereka bergegas menuju Rumah Sakit tersebut.

            Sampai di Rumah Sakit.

            “Ibuuu…” Rein berteriak dalam tangisannya. “Mana Fani Bu?” Rein penasaran. “Fani harus dioperasi sekarang. Tulangnya patah.” Ucap Ibu sembari mengusap pipi Rein yang basah karena air matanya. Suasana mengharu biru menghiasi sudut-sudut ruangan. Mereka berharap nyawa Fani bisa diselamatkan. Namun bagaimana pun takdirlah yang menentukan.
            Bersembahyang, bersujud meminta secuil harapan bagi Adiknya yang sedang berjuang meregang nyawa. Lantunan do’a dilayangkannya, meminta pada Yang Maha Esa untuk mengembalikan keceriaan sang Adik.

            “Ibu, bagaimana dengan biaya operasi Fani?” tanya Rein cemas. “Tadi ada seseorang berbaik hati mau menanggung biaya operasi dan pengobatan adikmu.” Kata Ibu menjelaskan. “Alhamdulillah, siapa Bu?” Rein keheranan. “Sekarang dia ada di belakangmu.” Ibu mengarahkan pandangannya ke belakang Rein. Rein menoleh ke belakang. Bagaimana Ia tidak terkejut, karena yang membantunya adalah Vio. “Vio?” Rein bertanya-tanya. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau adiku ini kecelakaan dan harus di operasi?” Rein masih keheranan. “Iya Rein. Tadi kebetulan aku lewat Rumah Sakit ini dan melihat Ibu dengan Adikmu. Maafkan aku, tentang perlakuanku padamu kemarin, padahal kamu tidak punya salah kepadaku. Aku membantumu sebagai permintaan maafku. Kamu mau memaafkanku?” ucap Vio dengan mata sedikit berkaca-kaca. “Tentu saja, Vio. Justru aku sangat berterimakasih karena kamu telah membantu keluargaku.” Rein merengkuh tubuh Vio dan memeluknya.
            Rein sangat bersyukur semua keadaan kembali seperti semula. Tidak ada kebencian di antara mereka. Ini semua juga merupakan takdir Allah. Rein kini menemukan titik cahaya yang bisa menuntunnya. Suasana kelabu itu kini hilang dikalahkan oleh pelangi yang membawa kebahagiaan.

Karya : Fadila Salma Rona

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Tentang Saya

Kesempatan Tak Datang Dua Kali

Ketika Cinta Menemukan Cintanya