MUTIARA



Angin semilir berembus lembut. Ujung khimar Nina yang lebar melambai-lambai. Senja itu ia sedang menyapukan kuasnya di atas kanvas. Melukiskan panorama indah di hadapannya dengan perasaan yang berwarna pelangi. Sudah genap satu tahun ia memutuskan untuk berhijab. Memenuhi kewajibannya sebagai seorang wanita. Dalam kenikmatannya melukis, ia terbayang oleh kata-kata Ustadzah Zainab, “Jadilah mutiara berharga yang tersembunyi dalam balutan cangkangnya yang keras dan hanya bisa dimiliki oleh orang-orang pilihan”. Kata-kata ajaib itulah yang membuat Nina memutuskan untuk berhijrah.
            Kriiiinngg.. telepon Nina berdering. Itu adalah telepon dari Lita. Ia mengajak Nina makan malam, tetapi Nina menolaknya. Sekarang ini, Nina memang sedang berusaha menghindari hal-hal yang kurang berfaedah seperti berkumpul hanya sekedar makan dan ngobrol yang ujung-ujungnya menjadi gosip. Dan kebetulan, malam itu Nina memang berniat menghadiri pengajian bersama Ibunya.
                       
            Esok hari, pukul 16.00 WIB

            Tok.. tok.. tok..
“Ninaa…” Dona dan Lita mengetok pintu rumah Nina. Sebenarnya tujuan Dona dan Lita ke rumah Nina ingin mengajaknya untuk belanja bersama. Tetapi lagi-lagi Nina menolak karena sore itu ada jadwalnya untuk mengajar ngaji anak-anak di TPQ.
“Ahh.. kamu ini, sekarang udah enggak asyik lagi nih. Sekali ini aja, kita belanja bareng”. Celetuk Dona. “Kita kan udah belanja bareng bulan kemarin, Don”. Ujar Nina sambil tersenyum. “Oke, kalau kamu gak mau ya, gakpapa. Kamu ini beneran udah berubah ya? Atau kamu udah enggak mau berteman lagi sama kita?” ucap Lita sinis. “Bukan begitu Lita. Jangan salah paham! Ehh, bentar ya.” Jelas Nina sambil beranjak dari ruang tamu untuk mengambil sesuatu di dalam rumahnya. “Ini ada khimar untuk kalian. Jangan lupa dipakai ya.” Nina tersenyum sambil memberikan dua helai khimar. “Nin, udah deh, kamu enggak berhak ngatur hidupku dan Dona”, ujar Lita dengan amarahnya dan membuang khimar pemberian Nina. Sentak saja Nina tertegun mendengar perkataan Lita. Mereka pun pergi meninggalkan Nina dengan rasa kecewa. Air mata Nina tak terbendung, hatinya teriris melihat kelakuan kedua sahabatnya. Meskipun begitu, Nina tetap ingin berusaha untuk memperbaiki tabiat sahabatnya itu.
            Seperti biasanya, hari-hari Nina yang masih duduk di bangku SMA ini penuh dengan keceriaan walau banyak halang rintangan. Saat ini ia sedang sibuk mempersiapkan UN yang akan diadakan 3 bulan lagi. Walaupun sibuk begitu, Nina rutin mengajar anak-anak mengaji di TPQ.
            Hingga pada suatu sore, Mas Abdul sengaja memberikan rantang berisi makanan untuk Nina. Ia pun berterimakasih dan bersegera untuk pulang. Di tengah perjalanan, “Hai Nina, tadi aku liat dari kejauhan, sepertinya Mas Abdul suka sama kamu deh. Kalo kamu diajak pacaran mau gak?” Tanya Reisa penasaran. “Mbak ini ada-ada saja. Saya juga enggak mau pacaran Mbak, dosa. Hehehe..” Tukas Nina sambil tersenyum.
            Sampai di rumah, tiba-tiba saja pikiran Nina melayang membayangkan Mas Afnan, seseorang yang sebenarnya tidak ia kenal. Nina hanya mendengar cerita dari orang-orang sekitarnya, kalau Mas Afnan adalah orang yang pandai dalam hal agama. Usianya 2 tahun di atas Nina. Ia telah lama mengaguminya.
“Astaghfirullah Nina, cukup, berhenti. Jangan sia-siakan otak kamu untuk memikirkan seseorang yang bahkan enggak mikirin kamu sekalipun. Dia itu belum tentu jodoh kamu nantinya.” Benak dan batin Nina bentrok. Ingin rasanya, Nina membunuh rasa tersembunyi itu. Nina berusaha menghilangkan salah satu anugerah sekaligus ujian dari Allah, yang sebenarnya sangat sulit bagi setiap orang yang merasakannya.
            Kriiiinngg.. telepon Nina berdering. Kali ini Kevin yang menelepon Nina. Pikiran Nina buyar seketika dari Mas Afnan. Kevin mengabarkan, kalau Lita dan Dona kecelakaan. Nina bersegera menuju rumah sakit tempat Lita dan Dona dirawat dengan perasaan sangat cemas.
            “Ninaa.. kamu masih peduli sama kita?” jerit Lita sambil menangis di atas kursiroda. “Maafkan aku dan Dona. Sekarang dia sedang di ruang ICU, keadaannya kritis.”
“Tentu saja Lita. Aku sangat sayang pada kalian. Aku cuma ingin kita bisa bersama lagi di surga kelak”. Ucap Nina dengan deraian air mata membasahi pipinya. Lita memeluk Nina dengan erat menyadari kesalahannya selama ini. Keharmonisan kedua insan itu kini kembali.
Namun, keheningan malam itu menjelma menjadi riuh tangisan para sahabat, karena Dona harus berpulang pada Yang Maha Kuasa.
Sejak tragedi itu, Lita memutuskan untuk berhijab. Karena Ia yakin kalau ujian tersebut merupakan hidayah untuk dirinya.

Sementara itu, di tengah kesunyian malam. Pukul 03.15 WIB

Seseorang menengadahkan tangannya. Mendoakan Nina, gadis impiannya. Dengan sesenggukan tangisan, yang selalu mengharapnya agar dapat menjaga hati hingga nanti mereka dipersatukan oleh takdir Ilahi.
Siapakah seseorang itu? Dialah Mas Afnan.

Karya : Fadila Salma Rona

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Tentang Saya

Kesempatan Tak Datang Dua Kali

Ketika Cinta Menemukan Cintanya