Ketika Cinta Menemukan Cintanya
Karya : Fadila Salma Rona
Ketika kebimbangan itu ada
Tanya dalam hati pun mencuat
Gelisahnya hidup tak bisa dipungkiri
Berjalan tanpa arti
Memikirkan sebuah hal
Yang tak diketahui bagaimana akhirnya
Semilir angin berhembus. Gadis belia itu menyibakkan kemilau rambutnya. Ya, umurnya masih 17 tahun. Ia duduk di atas sebuah rotan di tengah taman. Matanya yang jeli sedari tadi terpatut ke atas langit bersemburat merah sesekali menunduk dengan tangannya sibuk mengendalikan pena untuk menari di atas secarik kertas putih yang ia genggam. Sesekali juga ia memejamkan mata dan bulir demi bulir air jatuh dari kedua bola matanya.
Siapa gadis itu? Ia yang berperawakan ideal itu bernama Cinta. Namun dalam hidupnya ini, rasanya ia belum mengetahui makna cinta yang sebenarnya. Wajah manis, rambut indah, bermata jeli tak lagi berarti baginya, jika kasih sayang dari keluarganya pun tak ia rasakan lagi. Ia selalu berpikir kenapa dirinya terlahir sebagai anak perempuan yang dinamakan Cinta, sedangkan cinta itu pun tak hadir dalam hidupnya. Kini baginya, Cinta adalah sebuah tulisan yang tidak memiliki arti.
Orang tua Cinta sibuk atas nama pekerjaan yang menurutnya hanya bernilai materi. Pergi sebelum terbitnya mentari dan pulang setelah terbenamnya sang surya dari ufuk barat.
Namun, Cinta kini sudah dewasa. Bukan Cinta yang seperti dahulu, hanya menangis jika di tinggal kerja Mama dan Papa. Cinta yakin semua akan berakhir bahagia.
Minggu, 2 September 2016
“Bagaimana pak? Jadi saya harus berangkat kesana hari Rabu?” tanya papa Cinta.
“iya, paspor dan visa pun sudah saya urus.” suara seseorang itu sayup-sayup terdengar dari telepeon genggam papa.
Cinta yang sedari tadi memperhatikan dari celah pintu kamar papa, hanya bisa bertanya dalam hati.
“Ma, Rabu besok papa dan Edi harus berangkat ke wilayah konflik di Palestina untuk meliput berita.” papa menjelaskan pada mama.
“Apa tidak bisa digantikan dengan orang lain pa? Mama takut disana bahaya untuk papa.” kata mama sambil menundukan kepala.
“Tidak ma, papa akan baik-baik saja. Ini sudah menjadi tanggung jawab papa. Doakan saja ya.” papa menenangkan mama dengan mengelus-elus bahunya.
Kini Cinta mengerti apa masalahnya. Tanpa pikir panjang, Cinta masuk ke dalam kamar dan menyatakan bahwa dirinya ingin ikut ke Palestina bersama papa dan Om Edi. Sontak saja, mama dan papa kaget. Keinginannya itu seperti kelewat batas. Bayangkan saja, anak 17 tahun itu ingin pergi ke medan konflik. Apa yang ia inginkan?
“Ma, pa, cinta ingin menemani papa saat bekerja. Lagian, 3 minggu ke depan, Cinta libur sekolah.” Cinta menerangkan.
“Cinta, kamu tahu nak? Kehidupan disana sangat berbeda dengan kita di Indonesia. Apa kamu bisa menjalani harimu disana? Sedangkan disini saja kamu masih belum bisa mandiri.” kata mama sambil membelai rambut cinta.
“iya, Cinta siap kok.” gadis berparas manis itu menyatakan kesiapannya.
“Ya sudah ma, biarkan saja Cinta pergi bersama papa dan Edi. Mungkin kehidupan disana akan menjadi pembelajaran bagi Cinta selanjutnya.” tutur papa menyetujui permintaan Cinta.
Rabu, 5 September 2016
Berdiri, terpaku
Wanita itu berjalan lemas
Ia yang berbalut kain yang menjulur panjang itu
Hanya bisa memandang dari balik kaca
Mata itu seolah kehilangan binarnya
Kibasan khimarnya tak mampu menghapus air mata
Tampak kesenduan dari air mukanya
Melepas kepergian suami dan anaknya
Cinta menengok ke belakang. Ia melambaikan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dibebani satu koper berwarna marun. Ia lalu membuat lambang “O” dengan jari telunjuk dan jempolnya yang mengisyaratkan Cinta akan baik-baik saja.
Ya, mama memang harus merelakan papa dan Cinta walaupun kepergiannya kali ini mungkin tidak sampai berbulan-bulan. Tetapi hal yang paling berat dirasakan mama adalah jika suatu ketika waktu yang ditunggu telah datang, namun papa dan Cinta tak lagi datang dan menemani.
Kamis, 6 September 2016
“Cinta, sebenarnya kenapa kamu ingin ikut papa bekerja?” papa heran.
“Karena selama ini Cinta merasa kalau papa sibuk bekerja, jarang bertemu. Cinta ingin meluangkan waktu bersama papa. Untuk itu Cinta ingin ikut pergi bersama papa.” jawabnya tersedu-sedu.
Tiba di El Arish International Airport, ternyata belum membuat hati Cinta, papa, dan Om Edi lega karena mereka tertahan dan belum boleh menembus Rafah. Mereka harus menunggu hingga hari esok.
Sabtu, 7 September 2016
Mereka bertiga berhasil melakukan perjalanan hingga ke jalur Gaza. Sebelum meliput, papa, Cinta, dan Om Edi sempat menginap di camp pengungsian bersama tim relawan Indonesia. Banyak hal yang diceritakan oleh tim relawan Indonesia tersebut. Mulai dari sulitnya perjalanan hingga sampai di tanah konflik ini serta tantangan berjuang hidup disini. Semua itu tidak akan mudah jika kita tidak mengingat Allah.
Papa dan Om Edi mulai meliput berita tentang kondisi bangunan disana. Runtuh, hancur lebur. Hanya puing-puing yang tersisa. Namun tiba-tiba, BOOMM..!!
Telah terjadi peluncuran rudal dan tepat jatuh 3 meter di belakang bangunan tempat papa dan Om Edi meliput. Seketika bangunan yang telah hancur itu menjadi tambah hancur. Anak-anak kecil berhamburan. Cinta kebingungan, kehilangan jejak papa dan omnya. Ia kehilangan arah, tidak tahu harus kemana.
Tempat itu sunyi, padahal beberapa saat lalu baru saja terjadi keriuhan. Ya ampun, ternyata Cinta baru saja siuman dari pingsannya. Seorang bocah cantik berkerudung merah itu menghampiri. Gadis itu sepertinya kesulitan membawa jeligen berisi air.
“Assalamu’alaikum, kaifa haluk anti?” tanya bocah tersebut. Namun Cinta tak mengerti apa yang dikatakan oleh gadis itu dan hanya bisa melemparkan senyuman. Bocah tersebut membalas senyuman Cinta.
“Apakah anda berasal dari Indonesia?” tanya bocah itu lagi.
“Iya betul, bagaimana kamu bisa tahu? Dan apakah kamu bisa berbahasa Indonesia?” Cinta mulai keheranan.
“Sepertimya kau sedikit terluka, ayo kta ke camp pengungsian di ujung sana. Nanti akan kuceritakan.” ucap bocah itu sambil matanya menelusuri detail tubuh Cinta yang terluka.
Ia dan Cinta menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Jalan sepanjang 2 km itu mungkin membuat Cinta kelelahan, tapi tidak dengan gadis manis berkerudung merah itu. Padahal Ia juga harus membawa beban jeligen yang berisi air.
Sambil berjalan, si gadis manis itu lalu bercerita kepada Cinta bahwa Ia bisa berbahasa Indonesia karena di camp-nya sering kedatangan relawan dari Indonesia. Tidak hanya memberi bantuan, tapi mereka juga bersedia untuk membimbing belajar anak-anak. Ia pun bisa mengetahui bahwa Cinta adalah orang Indonesia karena mata, wajah, rambut, dan perawakan tubuhnya itu menunjukkan ciri khas Indonesia.
Tiba di camp pengungsian, Cinta disambut hangat oleh bocah-bocah mungil dan manis Gaza. Mereka bersorak mempertontonkan gigi, berlari menujunya. Sambil berkata ”Hei, kita kedatangan saudara baru dari Indonesia!”. Mereka datang dan memeluk Cinta lalu memberikan bunga-bunga yang tumbuh liar di sekitar camp tersebut. Ya, mereka baru saja memetiknya. Kebahagiaan itu sedikit berhasil membuat Cinta melupakan tentang papanya yang entah kemana meninggalkannya. Hingga seutas goresan bibir yang melengkung itu tercipta. Cinta dan bocah-bocah itu bermain riang gembira. Sedangkan Nafeeza melanjutkan pekerjaannya mencuci baju kemudian dilanjutkan dengan memasak makanan.
Seolah kelelahan, Cinta duduk di atas batu bekas bangunan yang runtuh. Tiba-tiba seorang wanita yang kurang lebih berusia 23 tahun menghampiri Cinta. Dengan senyum yang mempesona itu, Ia menyapa Cinta dengan salamnya terlebih dahulu “Assalamu’alaikum, ukh.. perkenalkan nama saya Noya.” wanita yang memakai gamis berwarna hitam itu menjulurkan tangannya pada Cinta. Cinta yang sedari tadi terdiam karena melihat keanggunan dan menawannya wajah wanita itu, sontak saja kaget.
“Wa’alaikumussalam..” jawab Cinta singkat sambil tersenyum dan berjabat tangan.
“Saya lihat, tadi kamu kesini bersama Fee, lalu bermain dengan anak-anak itu. Wajahmu terlihat sangat bahagia.” kata wanita itu.
“Ya, senyum mereka, canda tawa mereka tetap ada walaupun ditimpa masalah seberat ini. Itulah yang buat saya bahagia. Ohh iya, Fee, Ia gadis kecil yang tangguh,” ucap Cinta menjelaskan.
“Ayahnya telah menjadi syuhada di medan perang dua tahun yang lalu, sedangkan Ibunya belum sembuh dari sakit kakinya karena tertembak oleh rezim Israel yang kejam itu. Kelumpuhan kakinya itu kini menjalar ke bagian tubuh lainnya sehingga yang bisa dilakukan hanyalah berbaring. Namun beruntunglah mereka memiliki anak seperti Fee, seorang gadis cilik yang tabah dan berbakti pada orang tuanya,” jelas wanita berbaju hitam itu sesekali menitikkan air mata. Cinta tak mampu berkata lagi, air matanya tumpah seketika.
Sekejap, Nafeeza menghampiri wanita yang sedari tadi berbicara dengan Cinta. Kedua tangannya membawa semangkuk makanan dengan hati-hati.
“Ustazah Noya, cobalah masakanku ini. Apakah rasanya sudah pas dan enak? Jika masakan ini enak, aku akan memberikannya pada Ibu, jika tidak enak, maka aku akan mencoba memasaknya lagi,” kata Fee dengan bahasa arabnya sambil menyodorkan mangkuk yang dibawanya tadi.
“Wahh, masakan ini lezat. Kamu memang pintar memasak,” wanita itu memuji masakan Fee dengan mengelus kepalanya.
“Kak Cinta, kau juga boleh mencobanya, Falafel ini adalah masakan khas daerahku,” Fee menyunggingkan senyum pada Cinta.
Cinta yang tak tahu bagaimana rasa Falafel itu, langsung saja mengambilnya karena penasaran. “Syukran Fee,” Cinta berterimakasih dengan bahasa arab sepengetahuannya.
Malam ini, Cinta harus menginap di camp pengungsian bersama Fee dan lainnya. Keadaannya sangat memprihatinkan jika dibandingkan kamar Cinta yang memiliki fasilitas lengkap seperti kamar mandi, AC, TV dan kasur yang empuk. Bahkan disini, jika sekedar ingin buang air pun harus menempuh perjalanan hingga 15 meter untuk mencapai kamar mandi umum.
Minggu, 8 September 2016
Pagi yang cerah, hari ini Cinta mendapat kabar bahwa relawan Indonesia akan membantunya mencari papa dan Om Edi. Sujud syukur Cinta lakukan. Akhirnya sebentar lagi cinta akan bertemu dengan dua orang yang Ia sayangi.
Disaat matahari sudah naik hingga batas ujung tombak, Cinta melihat ramainya orang membentang kain, tua muda menjadi satu. Dari belakang Ia dikejutkan oleh Fee dan Ustazah Noya. Mereka mengajak Cinta untuk solat dhuha bersama.
Selesai solat dhuha, Cinta melihat banyak remaja lelaki berkerumun menjadi satu. Rupanya mereka sedang melaksanakan pelatihan militer. Hal ini wajib diikuti guna membela dan mempertahankan tanah mereka. Salah satu diantaranya ada Shakei, seorang pemuda tampan berusia 19 tahun. Ia merupakan adik dari Ustazah Noya. Cinta mengenalnya cukup singkat, karena pertemuannya yang tak disengaja ketika Cinta diajak oleh Ustazah Noya mengantar makanan sore lalu. Saat itu juga Ustazah Noya bercerita bagaimana uletnya Shakei dalam mempelajari ilmu agama serta semangatnya mengikuti latihan militer. Hal ini membuat rasa kagum terbesit dalam hati Cinta.
Sedangkan para bocah dan remaja perempuan berhamburan masuk ke dalam sebuah tenda sambil membawa Al Qur’an. Dengan bimbingan Ustazah Noya, mereka mulai mengahafal Al Qur’an dengan baik. Walaupun banyak masalah dan ujian yang dihadapi, dari mata mereka terlihat semangat untuk membumikan Al Qur’an. Tak ada rasa menyesal akan kehabisan waktu bermain. Karena menurut mereka, Al Qur’an adalah sebuah pegangan hidup yang harus digenggam teguh. Dan karena Allah adalah tujuan hidupnya. Bait-bait ayat yang mereka bacakan itu membuat hati Cinta terenyuh. Ia mulai berpikir, kapan terakhir kali Ia membaca ayat-ayat cinta yang indah tersebut. Cinta sibuk dengan kegundahan hatinya sendiri dan lambat laun melupakan Allah. Air matanya lagi-lagi mengucur sedikit demi sedikit.
Tak disangka, rupanya seorang anak lelaki kecil berumur 5 tahunan tengah menengadahkan sebuah kain kecil dibawah dagu Cinta.
“La tahzan,” katanya dengan wajah yang polos. Wajah bulat dan pipi bergelambir seperti bakpao itu membuat Cinta gemas ingin mencubitnya.
“Adik, sedang apa kamu ada disini?” tanya Cinta.
“Tadinya aku ingin mengikuti mereka mengahafal Qur’an, tapi makanan dalam toples sebelahmu itu lebih menggodaku,” lagi-lagi bocah lelaki itu menjawab polos.
Cinta tertawa geli. Diberikannya toples berisi makanan itu pada bocah lelaki tersebut.
“Siapa namamu?” tanya Cinta lagi.
“Namaku Abbas Zainul Muttaqin. Seperti namaku itu, Abbas yang artinya pemberani layaknya singa. Saat remaja besok aku akan bersemangat mengikuti latihan militer, agar nantinya aku dapat membela keluarga dan negaraku ini,” bocah lelaki itu menjelaskan dengan susah payah karena mulutnya yang penuh makanan.
Lagi-lagi Cinta merenung. Walaupun Abbas ini masih kecil, namun pemikirannya sudah bisa dianggap dewasa. Ia tidak merengek ataupun menangis dan bahkan semangatnya membara jika ditanya tentang keluarga dan negaranya.
Lantunan ayat suci itu tak lagi terdengar, sekarang saatnya istirahat. Anak kecil dengan rambut pirang yang tergerai itu menghampiri Cinta dan Abbas.
“Kakak kenapa kau tidak mengikuti hafalan Qur’an tadi?” tegurnya pada Abbas.
“Janganlah kau marah dulu. Cobalah ini, kue yang enak,” Abbas menyodorkan kue yang dipegang pada adiknya.
“Hei, bocah manis, siapa namamu?” tanya Cinta sambil mengusap dagu bocah tersebut.
“Namaku Zulaekha,” katanya dengan pipi bersemburat merah sambil tersenyum manja.
Tak lama kemudian, disusullah anak-anak kecil berusia sebaya. Mereka adalah teman dari Abbas dan Zulaekha. Kemudian disebut namanya satu per satu, yakni Korshed, Myiesha, Sumehra serta sepasang anak kembar, Zerrin & Zemran. Cinta merogoh tasnya, dan dibagikannya kue-kue yang Ia punya. Mereka sangat senang, mungkin karena mereka hanya bisa menikmati kue-kue tersebut lezat hanya sesekali waktu saja, tidak setiap hari.
Senin, 9 September 2016
Suasana sekitar camp riuh, terdengar kabar bahwa ayah Sumehra meninggal 2 hari yang lalu karena serangan bom 8 kilometer dari daerah ini. Namun jasadnya hingga kini belum ditemukan. Jadi harus dilakukan solat ghaib. Keluarga yang ditinggalkan pun tentunya penuh dengan kesedihan dan isak tangis. Namun itu hanya sebentar, karena mereka tahu, bahwa ayah Sumehra meninggal dalam keadaan syahid.
Menurut orang sekitar, hal ini memang sudah biasa dilakukan. Biasanya orang diluar sana hanya melakukan ibadah solat 5 kali sehari, namun di Palestina khususnya Jalur Gaza melakukan solat hingga 6 kali yaitu solat subuh, solat dhuhur, solat ashar, solat maghrib, solat isya, dan sebagai tambahannya adalah solat jenazah.
Kejadian ini menuntut Cinta untuk berpikir kembali. Merenungkan solatnya ynag selama ini masih bolong-bolong, padahal keselamatan hidupnya terjamin.
“Ya Allah, maafkan dosa-dosaku selama ini. Padahal ku tahu, engkau memberi nikmat begitu sempurna untukku,” rintih Cinta dalam hati.
Selasa, 10 September 2016
Hari-hari telah dilalui Cinta di tanah Gaza. Ia menyebutnya tanah perjuangan. Berjuang fisik, mental, ataupun menghindari hingar bingar dunia. Sedikit demi sedikit Ia mulai mengerti tentang kehidupan, diluar yang Ia bayangkan sebelumnya. Bisa dibilang, di luar ekspektasinya. Selama ini Ia hanya melihat ke atas, bukan ke bawah. Itulah yang membuat hari-hari Cinta dilewati tanpa rasa syukur.
Namun ada satu hal yang masih belum Cinta mengerti. Mengapa para remaja wanita dan wanita dewasa bisa tidur dengan mengenakan khimar dikepalanya? Apa tidak risih? Mengapa tidak dilepas saja, padahal mereka tidur bersama mahram mereka. Semua wanita disini tidur satu tenda dengan wanita lain. Tidak ada seorangpun lelaki dalam tenda tersebut.
Dan apa yang menjadi pertanyaan Cinta tersebut berhasil dijawab oleh Ustazah Noya secara gamblang. “Ya, kami disini rela untuk tidak melepas khimar walaupun saat tidur karena kami tahu, serangan bom ataupun serangan bersenjata itu bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Kami tidak mau, jika nantinya kami meninggal dalam keadaan tidak menutup aurat. Karena ketaatan inilah yang ingin kami persembahkan untuk Allah semata,” kata Ustazah Noya dengan mata yang berbinar. Lagi dan lagi, hati Cinta terketuk. Selama ini Ia tidak mengindahkan nasihat Ibunya untuk menutup aurat dengan sempurna. Kali ini, Cinta memantapkan hatinya untuk mengenakan khimar. Hal tersebut lalu diungkapkan pada Ustazah Noya. Dan ternyata, Ustazah Noya telah menyiapkan khimar untuk Cinta.
“Dengan begini, Cinta lebih terlihat cantik dan anggun,” Ustazah Noya merapikan khimar yang sedang dipakai Cinta sambil tersenyum manis.
“Terimakasih Ustazah,” mata Cinta berkaca-kaca.
Rabu, 11 September 2016
Hari itu, semua pasukan militer dikerahkan, tak terkecuali mereka para remaja yang masih dalam tahap latihan. Dengan memakai seragam khusus, helm, serta membawa senjata, mereka siap menghadapi tentara rezim yang selama ini mengacak-acak bumi mereka.
Tampak pula kesedihan Ustazah Noya melepas kepergian adik lelakinya, Shakei. Semua wanita disana memang begitu, harus ikhlas melepaskan saudara lelaki, anak lelaki, ayah, ataupun suami mereka. Apapun yang terjadi, entah akan kembali dalam kehidupan mereka atau kembali kepada Allah.
BOOM!!
Belum apa-apa, rezim kejam itu sudah mengirimkan bomnya. Semua orang panik, wanita dan anak-anak masuk ke dalam tenda masing-masing. Namun satuan tentara Gaza dengan gagahnya, berjalan menghadapi musuh mereka.
Suara bom yang menggelegar itu semakin banyak dan keras terdengar. Suara itu tak henti-hentinya dibunyikan. Cinta sangat panik. Ia duduk di tengah tenda dengan tangannya memeluk lutut. Menundukkan kepalanya dan memejamkan mata. Ia menangis. Sedangkan ibu-ibu yang ada di sebelahnya itu terus berzikir. Tidak hanya ibu yang berada di sebelah Cinta tersebut, namun semua orang di dalam tenda itu ikut berzikir. Cinta mulai menenangkan dirinya dan mengikuti apa yang ibu-ibu tersebut lakukan.
Keadaan di luar masih sangat mencekam. Mulai ada suara tembakan dan ahh, jeritan kesakitan dari seseorang di luar itu membuat hati pilu. Tidak hanya satu orang yang menjerit kesakitan, namun ada beberapa orang. Hal itu membuat mereka menangis. Betapa sakit hati mereka mengetahui orang yang mereka sayangi berada dalam taruhan nyawa.
Disaat senja tiba, para wanita berkumpul menjadi satu, bersama menunggu anak, saudara, ataupun suami mereka pulang dari medan perang. Tapi naas, riuh kabar berkata bahwa banyak yang telah menjadi syuhada dalam pertempuran hari ini. Tak terkecuali Shakei. Ia juga menjadi salah satu dari para syuhada itu.
Tangis Ustazah Noya pecah. Karena hanya Shakei satu-satunya keluarga yang Ia punya. Cinta berusaha untuk menenangkannya. Tak lama, Ustazah Noya membawa gulungan kertas dengan pita merah mengikatnya dan memberikannya pada Cinta.
“Apa ini?” tanya Cinta penasaran.
“Buka saja, itu sebuah surat yang Shakei tulis diam-diam. Saya menemukannya di dalam tasnya tadi pagi. Dan saya rasa, kamu perlu tahu tentang ini,” jawab Ustazah Noya.
Dibukanya gulungan kertas itu oleh Cinta. Dibacanya baris demi baris dengan seksama.

Assalamu’alaikum, Cinta!
Aku Shakei. Mungkin kau akan kaget dengan adanya surat ini. Kita memang baru saja kenal. Hanya sekali bertemu. Namun entah apa yang terjadi dengan perasaanku, seperti berbeda dari yang biasanya.
Sejak awal sebelum pertemuan itu terjadi, aku telah memperhatikanmu. Bukankah dulu kau datang kesini bersama Nafeeza? Lalu kau bermain bersama anak-anak disini. Ku lihat terpancar kebahagiaan dan ketulusan dari wajahmu. Aku pun tahu bahwa kau sangat sedih kehilangan Ayahmu, tapi dari situ juga aku salut denganmu yang dengan dewasa menyembunyikan kesedihan tersebut.
Seiring berjalannya waktu juga, ku tahu bahwa kau adalah seseorang yang terbuka dengan ilmu dan hidayah. Aku sering melihatmu solat dhuha bersama Nafeeza dan Kak Noya.
Tidak hanya itu, Kak Noya juga sering bercerita tentang kau. Dan kabar yang paling membahagiakan bagiku adalah ketika kau memutuskan untuk menutup aurat dengan sempurna.
Andai kau tahu perasaanku saat ini. Ahh.. aku tidak bisa mendefinisikannya dengan baik. Namun aku hanya bisa memperhatikan dan mendoakanmu dari jauh.
“Ana Uhibbuki Fillah, Ukhti.”
Hanya itu yang dapat aku ucapkan mewakili hati ini. Semoga apa yang aku semogakan selama ini bisa terjadi. Semoga aku dan kau dapat bersatu dalam ridhoNya. Aamiin.
*surat ini akan kuberikan kepadamu di waktu yang tepat suatu saat nanti sesuai rencanaNya.
Air mata Cinta mulai mengucur. Ia tak menyangka, ternyata perasaan kagumnya selama ini terbalaskan. Namun, nasi telah menjadi bubur. Tak bisa dikembalikan lagi. Cinta harus merelakan itu semua. Karena Ia tahu bahwa rencana Allah lebih baik dari perkiraannya.
Kamis, 12 Desember 2016
Sebuah kabar duka datang dari salah seorang relawan Indonesia. Ia mengatakan bahwa satu orang reporter yang berasal dari Indonesia telah meninggal terkena serangan bom.
DEEGG..
Jantung Cinta serasa akan berhenti. Terpaku, tatapannya kosong. Tubuhnya lemas tak berdaya. Cinta jatuh pingsan. Dibopongnya Cinta ke tenda darurat oleh para relawan tersebut.
“Cinta.. bangun nak,” seseorang mengecup kening Cinta. Perlahan Cinta mulai membuka matanya.
“Papa? Papa masih hidup? Papa sehat kan?” Cinta reflek memeluk erat papa.
“Alhamdulillah, papa enggak kenapa-napa kok,” kata papa sambil tersenyum.
“Tapi Cinta, Om Edi, telah diambil nyawanya. Mungkin Allah lebih sayang padanya,” lanjut papa denga kepala menunduk.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun,” mata cinta hampir meneteskan air lagi.
Jumat, 13 Desember 2016
Solat jumat telah usai. Papa dan Cinta berangkat menuju bandara untuk kepulangannya ke Indonesia. Langkah Cinta terasa berat. Kenangan selama beberapa hari tinggal di Gaza itu masih segar dalam ingatannya. Dan semua itu bermakna baginya. Tidak ada kata menyesal dalam dirinya.
Di tempat itulah Ia bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai karakter yang membuatnya terkesima. Baginya, mereka dalah manusia-manusia kuat, tangguh, teguh pendirian, namun memiliki kelembutan jiwa dan kesabaran. Orientasi mereka hanya kepada Allah, itu yang membuat Cinta salut. Di waktu itulah Cinta juga mendapat teguran sekaligus hidayah bertubi-tubi. Sehingga Ia merasa menjadi pribadi yang baru, seperti seseorang yang baru lahir. Ia merasa menjadi lebih baik.
Kegundahan hati yang selama ini Cinta rasakan hanyalah sia-sia. Kini Cinta pun telah menemukan cintanya. Menurutnya, cinta adalah sebuah anugerah yang pastinya dimiliki oleh semua orang. Cinta tidak perlu diucapkan, tapi cinta cukup dirasakan. Anak-anak yang selama ini bermain bersama Cinta, membagi kebahagiaan, bisa disebut sebagai cinta. Dua orang yaitu Nafeeza dan Ustazah Noya, yang telah mengetuk pintu hidayah baginya, mereka melakukan hal tersebut karena cinta. Ya, cinta pada sesama muslim. Sedangkan sebuah hal mengganjal yang dirasakan oleh Shakei dan Cinta, itu juga bisa dinamakan cinta. Yang paling penting, sekarang Cinta telah mengerti, bahwa kedua orang tuanya memiliki rasa cinta pada anaknya itu. Dan yang paling mendasar adalah semua ini telah terjadi atas dasar rasa cinta Allah pada Cinta. Tanpa kecintaannya, mana mungkin kisah indah walaupun penuh pilu ini dapat menghampiri hidupnya.
Cinta kini mengerti, apabila cintanya berlabuh padaNya, maka semua menjadi indah dan tidak akan ada penyesalan dalam dada.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswahh, terima kasih apresiasinya :)
HapusIni tulusan perdana ya...bagus banget, semoga menjadi penulis yg sukses.....aamiin
BalasHapusaamiin, jazakallahu khairan :)
Hapusada cerpen2 sebelumnya, bisa dicek ke bawah.. syukron :)